Oleh : Sofy Krismawati
Mak Ijah berjalan lesu
meninggalkan pasar. Di wajahnya terlihat ada kekecewaan, kulit keriput yang menghiasi
wajahnya itu semakin jelas terlihat. Asap knalpot dari lalu lalangnya kendaraan, dan hilir mudik para
pejalan kaki tak menarik perhatiannya. Mak Ijah terus berjalan, tak peduli pada kebisingan dan pemandangan sekitar yang dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk dengan urusannya.
Air mata menggenangi
matanya yang sayu. Dalam hatinya dia meratap, Ya Tuhan, bagaimana aku bisa memberi makan cucuku hari
ini ....
Uang di genggaman hanya lima ribu perak, sedangkan harga beras satu kilo harganya enam ribu dua
ratus rupiah, ini tidak cukup! Ya Tuhan. Mak Ijah, dia menarik nafas dalam-dalam.
Tuhan, mengapa diusiaku yang renta ini, anakku harus pergi mendahui? Mengapa tidak aku saja yang Kau panggil? Batin Mak Ijah merintih lirih.
Mak ijah, dia sekarang duduk dibawah rimbunnya pohon beringin Taman Kota. Matanya berkeliling melihat pemandangan indah yang ada di hadapannya. Perjalanan ke rumah masih begitu jauh, dan tubuhnya terasa sangat lelah. Sejak subuh tadi Mak Ijah telah berjalan menjajakan gorengan buatannya. Mungkin, karena keinginannya untuk menyenangkan cucunya di hari ini, Mak Ijah tak sadar kalau jalan yang dia tempuh hari ini terlalu jauh.
Jika uang ini aku
pakai untuk ongkos naik kendaraan umum, makin tak bisa aku dan cucuku makan. Ah ..., badanku terasa berat, kakipun terasa pegal. Mata Mak Ijah kembali melihat keadaan sekitar. Taman Kota yang indah dengan pohon beringin besarnya, air
mancur yang memercikkan air jernihnya, dan burung-burung merpati yang bertengger di kandangnya. Indah.
Angin sepoi-sepoi membelai
tubuh, lamunan Mak Ijah melayang pada tiga puluh lima tahun lalu. Waktu itu masih bersama Yatna, suaminya, juga anak mereka, Rusli, setiap hari Minggu mengunjungi taman ini. Membawa bekal makanan dari rumah dan
menyantapnya di bawah pohon-pohon beringin yang rindang Taman ini adalah hal terindah dalam hidupnya. Walau dalam keadaan sulit, keceriaan dan kebahagiaan tak pernah pergi meninggalkan mereka. Saat itu tak ada yang namanya susah, seperti hari ini, Ya Tuhan ....
Pandangan mata Mak Ijah kosong, hanya air mata yang mengalir dipipinya.
Ditengoknya uang lima
ribu perak digenggaman. Ya Tuhan ..., tolonglah hamba-Mu ini. Berikan jalan untuk kami. Ya Tuhan, bagaimana hamba dan cucu hamba bisa makan hari ini? Hanya pada-Mu hamba meminta, hanya pada-Mu hamba berserah, begitu ungkapan hati Mak Ijah saat ini. Airmata tak dapat
terbendung, Mak Ijah menangis tersedu. Beberapa orang pejalan kaki melirik, hingga Mak Ijahpun sadar dan segera menghentikan tangisnya.
Mak Ijah menarik napas panjang. Pandangannya tertuju pada air mancur. Andai saja air mancur
itu menumpahkan uang recehan, tentu takkan sulit hidup ini. Kembali Mak Ijah
menarik napas panjang. Mengapa aku dan suamiku harus mengalami bencana itu? Kebakaran di pabrik telah menghancurkan segalanya, bahkan nyawa suaminya. Utang dan berbagai tagihan menumpuk, mengambil habis kekayaannya.
Sejak itu, Mak Ijah dan anaknya tinggal dari rumah kontrakan satu ke kontrakan lainnya. Dengan mengandalkan uang yang didapat dari hasil berdagang kecil kecilan, hidup mereka terus berjalan. Keadaan semakin sulit, banyak pedagang bermodal besar menjadi saingan, dan usaha Mak Ijah harus gulung tikar.
Biarlah badan yang menanggung, yang penting anakku bisa makan dan melanjutkan sekolah. Mak Ijah kemudian menjadi buruh cuci
pakaian selama bertahun-tahun. Rusli tumbuh menjadi anak yang pandai hingga dapat menyelesaikan pendidikan sampai jenjang Universitas karena beasiswa yang dia dapat. Betapa bangganya
Mak Ijah.
Setelah Rusli bekerja, kehidupan Mak Ijah lebih baik lagi, mereka membeli
sebuah rumah di pinggir kota.
Rusli kemudian
menikah, dan memberikannya seorang cucu yang sangat cantik, Rosa namanya. Rosa adalah sinar kebahagiaan bagi semua. Rosa kecil yang periang, yang pandai mencuri perhatian orang dewasa
oleh kelucuannya, yang selalu dirindukan semuanya. Ah, Rosa .... mengapa kebahagiaan kembali terenggut. Rusli dan istrinya tewas dalam sebuah kecelakaan.
Ya Tuhan ..., aku lupa! Cucuku menunggu di rumah, dia pasti lapar sekarang. Mak Ijah berdiri dari duduknya. Tapi, mendadak kepalanya terasa berat, pandangan matanya berkunang
kunang. Samar. Matanya tak bisa melihat jelas, semuanya samar kemudian berubah gulita. Tangan Mak
Ijah menggapai, mencari pegangan. Bruk! Badanpun terjatuh, satu benturan keras pada hidung dan keningnya. Seketika itu pula, Mak merasakan badannya ringan, melayang.
"Mak ...! Emaaak ...! Jangan pergi, Mak! Bangun! Bangun, Mak! Oca takut ....!" Rosa kecil menangis. Tangan mungil itu mengguncang-guncang tubuh Emaknya. "Mak ..., bangun, Mak! Aku dengan siapa?" Rosa terus berusaha membangunkan Emaknya yang sedang pulas dalam tidur panjangnya.
Rancaekek, September
2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar